Aku percaya pada satu kata Frase dan klausa berkuasa Mencipta langit puisi Dan akan satu anak kalimat Judulnya tunggal milik semua Dikandung dari roh paragraf Dilahirkan penyair perawan Yang menderita sengsara Dalam pemerintahan pembaca tak bernama Kata wafat dan dimakamkan Turun ke tempat penantian Pada hari ketiga bangkit di tubuh pembacanya Naik ke taman makna Duduk di sebelah frase dan klausa Dari situ kata akan datang Mengadili kalimat yang hidup dan yang mati Aku percaya akan roh puisi Kata-katanya tak pelik namun puitis Persekutuan para penyair puitis Pengampunan bagi penyempitan makna Kebangkitan bagi kata yang hilang Kehidupan kata dalam puisi Semoga senantiasa menjagamu dari racun waktu Amin. Telukbetung, Mei 2011
Kategori: puisi
Puisi di Sulawesi Tenggara
Pembaca budiman, berikut beberapa catatan. Apakah puisi ataukah sajak — tentu saja tanpa tendensi. Kecuali “etika kontemplatif” , maksudnya lebih kurang dengan sadar penghargaan bagi sebuah imajinasi ialah kelahiran beberapa catatan. Syukur dapat bertukar getar. salam sastraholic
F. Moses
Permintaan Kesaksian
Dari Teluk Sampai Tanjung
F. Moses
Dari Teluk Sampai Tanjung
di laut kita pernah memancing
tapi ikan telanjur mahir menyelinap
di antara terumbu karang
“di Teluk ini tanjung masih terlalu garang
bagi si gamang bersitegang tegap di tubuh karang,” bisikmu
kita pun bergegas menafsir waktu
meninggalkan Teluk ke Tanjungkarang
“terlalu ringkih bagi kaki malas beralas,” bisikmu lagi
kaki beralas selalu mampu di Tanjungkarang
kaki telanjang cukup sampai di Tanjung
“Tanjung apa?” katamu.
“Tanjunggarang,” kataku.
2013
Katedral Tanjungkarang II
selalu kurumuskan segala ingatan
atas namaMu
sekadar doa dari lenguh domba dasar jurang
di rumah putih Tanjungkarang
selalu saja kuingat dirimu
selalu saja kukenang sebuah kota
darimu
Tanjungkarang adalah iman bagi puitika
segesit gerak ikan di antara terumbu karang
selesat ingatan seluruh bagi Tanjungkarang
bagi puteraMu seorang
menguatkanku bak batu karang
hari ini masih kubilang
mengingat Tanjungkarang
;musnah segala pedih meski berlancip karang
2013
Kunang-Kunang Kenangan Bakauheuni-Way Kanan
kunang-kunang kenangan melata
landai pandai meliuk di perbukitan tubuhmu
menjawil sepanjang perjalanan
dari kata ke kata
dari kota ke kota
mengitari kenanganmu
kunang-kunang kenangan
jua menjelma seribu frasa
menziarahi lekuk teluk tubuhmu
untuk bersegera di sungai perbukitanmu
girang kutafsir kunang-kunang kenangan
dari lekuk perbukitanmu yang menganga
menampung segala resah
merampungkan segala desah
;dari kota ke kota
di antara tiap lekuk perbukitanmu
adalah kunang-kunang kenangan
;bila malam tiba, kerlipmu menjelma
dari frasa ke frasa
kembali melahirkanmu sebagai kata-kata
2013
Lapangan di Kompleks Gubernuran Telukbetung
selalu kuingat janji kita di lapangan itu
seluas selapang perasaan yang tersusun rapi
kamu bilang begitu
aku bilang begini
;kita yang memang tak pernah sama. Kecuali dalam dusta.
dan kita pun kembali menyusun janji
untuk esok lebih baik
sekadar memberi kabar dan ciuman terakhir paling sempurna
lantas kita sempatkan makan bakso dan minum es teh manis
sebelum ucap mengubah segala pedas dan manis
kamu masih bilang begitu
aku masih bilang begini
kita masih saja tak sama.
Kecuali ingar nafsu
2013
Sumber: Lampung Post, 15 Juni 2014
..dari Beringharjo hingga Hujan di Teras Rumahmu
Pembaca budiman, berikut beberapa puisi sederhana saya tampilkan. Semoga berkenan.
Beringharjo*
aku menunggumu di pasar Beringharjo
bersama nostalgia tak lekang
masih kuingat dan kukenang
dalam sehisap kretek tepat di pelipiran “bangjo”
penyair gelisah
sejumlah orang bercakap tentang kemahsyuran dan penyinyiran sebuah kota
musisi jalanan yang belum malas beraksi
juga beberapa pasang kekasih muda yang merencanakan gaun pengantin dan bertukar buku dan kaset lama
aku menunggumu di Beringharjo
berkhayal dirimu menggenggam sejumput cerita tentang kabut kaliurang dan
pendaman magma kesetiaan merapi
aku menunggumu di Beringharjo
kelak kita jimpit dan menyimpannya rapi-tepat di saku ingatan
aku menunggumu di Beringharjo
tepat di bawah awan putih berlangit biru
“Langit seperti permukaan agar-agar,” kelak kubilang padamu
aku menunggumu di Beringharjo
sebentar kita memilih atau sekadar melihat pakaian serta beberapa pernik
untuk membuat makin malas berpulang
*)Pasar tua di Yogyakarta sejak tahun 1758
Yogya 210413
Di Sebuah Bordes
akhirnya kita pun menunggu sinyal kedatangan kereta Bogowonto
“rencana besok kita tiba di suatu kota, di mana ingatan bersiap mengoyak-merajam kenangan penuh seluruh,” katamu
Harusnya kau di sampingku, bersaksi bagi derit dan sinyal yang terus memusar-melaju derap waktu
“Kelak kita tak akan pernah mampu melupakan perjalanan ini,” tambahmu lagi, “dan kelak bila kerinduan memanggil, kita pun makin memahami tentang kesembuhan dari menanggung sebuah kenangan
dan kita pun tahu, segala tempuh kita bersama, selagi kau di sampingku; segala ngarai
pun tubir, bukanlah labirin perjalanan ini.Kecuali ingatan, ia adalah kita yang tak akan pernah sanggup untuk saling melupakan
Jakarta-Yogya, 190413
Jelma
segala puisi bagi kemuliaan
sebagaimana kau dan aku pernah tahu
: kita adalah puisi yang menjadi daging
segala frasa di benakmu
ialah kalimat menjelmaku
: “puisi gembira memang obat paling mujarab
tapi semangat patah mengeringkan tulang
Bandung, 2013
Hujan di Teras Rumahmu
turun kata-katamu rintik-rintik
kamu bilang titik
aku bilang koma
orang tuamu tanda seru
hati kita tanda kutip
tanpa pernah titik dua
di luar masih tanda tanya
semoga hujan mendinginkan iman puitika kita
amin
Bandung 2013
Sumber: Lampung Post, 14 Juli 2013
Puisi-Puisi
Pembaca budiman, berikut beberapa puisi sederhana saya. semoga berkenan.
Di Katedral Tanjungkarang
di tingkap cericit merdu
terbang dari mazmur catatanMu
meniupkan angin
kicaukan ihwal kelahiran
serta kenangan
juga beberapa kisah
dilipat segala peristiwa
atas namaMu dan anak manusia
kudengar kami masih manusia hilang
lenguh domba dasar jurang
Tanjungkarang, Juni 2011
Kenangan
sebagaimana kenangan
menjelma kunang-kunang
merdu suaramu terngiang
di tiap sungsang kenangan
sebagaimana batas rindu
menggamit terjal kedalaman
belantara kau dan aku
di rapuh jembatan zaman
sebagaimana kunang-kunang
membawa kenang-kenangan
seperti di atas benang
jalan kepadamu
Telukbetung, Januari 2012
Malam di Jalan Thamrin
kabut malam ialah debu beterbangan
kunang-kunang terlahir dari rahim lampu kota
melata dari Permakaman Karet
sebagaimana kata-kata ialah selangkah jurang bagi bahasa
bilamana frasa dan klausa tak lagi bersaudara
kau dan aku tahu sebuah alasan
:kalimat hanyalah bagi kita masing-masing agar selamat
Jakarta, April 2012
Pukul 16.59
:Teater Satu dan kOber
sebentar lagi senja
dan itu sangat berpotensi
merusak kewarasan mencintaimu
dari cara paling benar
Merak-Bakauheuni, 2012
sumber: Lampung Post, 27 Januari 2013
Sajak Mesra
Oleh F. Moses
Sajak Sakit
I
Di antara gelas bersisa air putih yang tak lagi hangat, susu steril nestle yang kau beli kemarin di sore pucat; hampir beku disergap dingin pagi.
Tubuhnya masih mengigil memangil-manggil mustahil
Gemeretak giginya sengaja ditahan agar tak bunyi
“Biar tetap sunyi,” katanya
Setidaknya tersisa dua butir penurun rasa panas dan mual
Semoga jauh lebih mampu dari seperti biasa kau memeluknya
Lantas sempatkan bercinta dari panas yang tersisa, meski ia masih tampak kesulitan menahan demam; andai saja kau di sebelahnya
Hanya dua buah buku kusam berkisah tokoh merah itu, asbak berisi debu dari empat batang rokok mentol, gitar bersenar nilon kendur ditambah copot satu senar, dan tiga charger tampak berserakan
II
Di luar hampir terang
Sepagi ini, kau mengingatkan dirinya dari setetes embun
“Ah, aku masih tak biasa, menikmati segar pagi dari sakit yang belum rampung,” katanya sambil menahan gigil dan beberapa linu pada persendian
Ia pun pergi. Ternyata menahan sakit lebih mesra mengingat-Nya.
Telukbetung 2012
Sajak Mesra
merapal khusyuk lembah paling ngaraimu
tersesat tak tahu jalan pulang
mengendus lekuk ranum tengkukmu
menjawil ingatan pelipiran beranda rumah kenanganmu
menjimpit gerak bulan paling lambatmu
menanti hadir mesra detak jantung lain
:semesra baca kitab suci
Barangkali ini bernama sejati hidup; mesra itu doa
Yogyakarta 2012
Kepung
sepi mengepung
angin tingkap berlalu
kudengar sedihmu bertalu-talu
kutetak rindu
biar rampung segala cemas
dari resah tunas
tiup satu rindu
kepada kerap
tersergap sula rindumu
seperti rapuh gerak kaki-tangan ikan di antara terumbu karang
: aku menujumu
menebar sejumput rindu
di halaman teratakmu
Kedaton-Telukbetung, 2012
Belajar Mesra
lelaki itu mencangkung
menghadap anak pohon kenangan
yang ditanam setahun lalu
temaram bahu bulan
semilir angin menetak ingatan
tiada sesiapa
ini baru suka nestapa, katanya ringan
dibakar lalu ditarik sehisap
: tiada lebih indah selain belajar mesra dengan sepi
Pelantun Bisa
ia bernyanyi dengan sendu
bagi kekasih malam sunyi berangin sedih
“Ini lagu buatmu, tanda kasih kukalungkan
pada permukaan ranum lehermu.
Biar tergantung selalu dendang rindu di dadamu,” katanya
Lantas menarilah perempuan itu di padang duri
sendiri bak kelebat bintang
membubungkan berahi mesra bagi lelaki sepi
bersarang lantun santun rupa pantun
“Ini lagu kita?” tanya perempuan itu
Lelaki itu tak menjawab
Sumber: Lampost, 5 Agustus 2012
dari Litani ke Soliter
Pembaca terkasih, berikut puisi -puisi karya F. Moses yang dimuat Lampung Post Minggu, 4 Desember 2011. Semoga berkenan.
Litani Kata
Aku percaya pada satu kata
Frase dan klausa berkuasa
Mencipta langit puisi
Dan akan satu anak kalimat
Judulnya tunggal milik semua
Dikandung dari roh paragraf
Dilahirkan penyair perawan
Yang menderita sengsara
Dalam pemerintahan pembaca tak bernama
Kata wafat dan dimakamkan
Turun ke tempat penantian
Pada hari ketiga bangkit di tubuh pembacanya
Naik ke taman makna
Duduk di sebelah frase dan klausa
Dari situ kata akan datang
Mengadili kalimat yang hidup dan yang mati
Aku percaya akan roh puisi
Kata-katanya tak pelik namun puitis
Persekutuan para penyair puitis
Pengampunan bagi penyempitan makna
Kebangkitan bagi kata yang hilang
Kehidupan kata dalam puisi
Semoga senantiasa menjagamu dari racun waktu
Amin.
Telukbetung, Mei 2011
Makan Malam
Sepiring kita berdua
dua setengah centong nasi sepi
sepotong daging malam
beberapa lauk sisa keramaian
tangan adalah sendok
kaki adalah garpu
sungguh indah makan berdua denganmu
kalau haus tinggal minum air matamu
kau haus juga minum air mataku
kenyang langsung kita tidur
bernyanyi bersama dalam dengkur
kalau kau pusing tinggal masuk mimpiku
kalau aku pusing juga tinggal masuk mimpimu
“Mudah, kan,” kataku
“Kenapa juga makan malam mesti dibikin susah,” katamu
jadi silakan mari makan malam bersama kami
dijamin kenyang seumur jagung
Telukbetung, April—Mei 2011-05-31
Petik Bunga di Taman Rumahmu
jalan-jalan di ranum pipi
buka baju segala lagak mandi hujan
tergelincir di licin leher
tak kuasa terlalu saru mendaki bukit, aku malu
lebih mulia berpintas motong jalan di tengahnya
sasar jalan ke bawah makin malu
petik bunga malam-malam
malah digampar kedua orang tuamu
terancam dibunuh rakyat sekampung
“Ini Timur, Bung,” kata mereka
Telukbetung-Yogyakarta, Mei 2011
Sekolah Malam
“Aku ingin kembali sekolah, Yah,” kata sang anak memelas.
“Kepada siapa? sudah tak mampu membiayaimu, macam-macam toh, tak ada lagi tempat buat orang susah macam kita.”
–“Kepada bulan dan bintang aku belajar, Yah.”
Memang lebih mudah baginya sekolah saat malam, tatkala orang-orang pada merem dan diam; tak ada jeweran apalagi dikte.
Ia melangkah bersama ransel biru berisi dua lembar kertas satu pensil.
Mencatat tujuh bintang dan satu bulan, jauh lebih indah dari kimia fisika, apalagi moral, katanya membatin.
Telukbetung, Juni 2011-06-15
Soliter Gerimis
Di teras rumah, kita pernah bak sepasang gerimis; tak pernah ragu menikam tubuh
Memang terlalu mulia bila bumi tubuhmu adalah pepohonan rindang terlalu bersih
Kau tatap mataku
Aku kembali balas ke matamu. Begitu seterusnya
masihkah perjumpaan ini seperti gerimis paling dingin membatu. Tanpa pernah menyelusup tanah ceruk tubuhmu. Lekuk lengan lekuk pinggul juga paling ngarai tubuhmu.
Sayang kita terlalu bak sepasang gerimis; selalu bersama untuk menyelusup celah-celah kenangan kering. Tanpa pernah menggenang untuk kembali mengenang dari teras rumah masing-masing ingatan yang terlalu gampang melekang.
Kau pilih kemarau
Aku memilih hujan. Begitu seterusnya
Kita memang tak pernah sama. Kecuali dalam dusta
Beranikah kau jujur bak penyair? Setia bermalam menetak kata menjadi sekeping dua keping makna?
Sayang, kau lebih memilih arti ketimbang makna
Sayang, kau lebih mengenal pengartian ketimbang pemaknaan
Terlanjur gawat; kita sama lebih memilih berarti daripada memaknakan arti
Dasar kita gerimis, katamu. Dekat di mata tanpa sesap di hati.
Begitulah kemarin, kita bak sepasang gerimis, kau masih ingat?
Telukbetung, Oktober 2011
Sajak-sajak F. Moses
Kisah Semalam
setiap malam meyaksikan matahari pagi dari sebalik punggungmu
berharap kau bilang: selamat pagi kekasih, akulah pagimu
kamulah pagiku, katamu menambah
pagi dari malam berkabut semalaman kita tersesat dalam tragedi
tragedi kebekuan kebersamaan kita senyata payah.
Kecuali sengal napasmu, memacu derak ranjang yang jauh aku kuasai. Berakhir kau menguasaiku, terlebih ranjang ini
selalu kembali kita membakarnya selepas malam bersahutan; dari matahari pagi sebalik punggunggu. Bukan sekadar kembali menghangatkan, melainkan panas tubuhku yang ini kali mampu membakar tubuhmu.
aku hangus, katamu.
Gg Manyar-Telukbetung, Februari 2010
Yang Terjadi
begini jadinya;
kita tak pernah sama
di istana keabadian
berperabot angin, daun, dan pot berakar tanpa pernah menyiraminya
seperti daun berjatuhan tertangkup dengan bibir
seperti lembab pagi jauh bersentuh matahari
seperti tangis bayi pagi hari kehabisan air susu
dari perjalanan terakhir seorang yang selesai menjadi ibu
terlebih seperti kering matamu memerhatikan langkah ini
seolah takkan kembali lagi
dari benak musim yang selalu enggan kita beri nama
;dalam kesetiaan kita bersandiwara di dunia entah ini
Telukbetung-Jakarta, 2010
Depan Gereja Tanjungkarang
mendung menggantung
berdedas hujan tiada henti
bunyi serupa detak kerinduan kita
mengemas cinta
merangkum tanya
mendesah pasrah
betapa puluhan tahun jauh dari sua
kita berkarat lantaran larat
seperti kapal enggan sauh
dalam kota menua dan menahun
kita senantiasa mencari persamaan
:tentang siapa lebih tua dari tubuh dan tembok-tembok itu.
Hening. Bening. Tertampar tanya. Lonceng menggema duabelas kali.
Kau pun tersenyum.
2010, Tanjungkarang
Dari Sebutir Debu
“mataku kerasukan debu,” katamu setelah perjalanan jauh
aku seka matamu. Aku seka keringat di lehermu. Aku tiup matamu.
Dari perjalanan jauh ini
perjalanan kita memang selau dipenuhi berahi.
Berahi api selalu membakar ranjang kita semalaman. Tiada henti. Tiada percuma.
Berahi selalu mengantar api menjadikannya abu, sela penyair tua itu. kata-katanya masih membekas dalam ingatanku.
Sekali waktu, aku melihatmu tak berdaya. Dicumbu berpeluk debu yang sedemikian sengat. Aku hangus dipeluk debu, katamu tadi pagi.
Kau tinggal rangka.
Kecuali kata-katamu, senantiasa kuziarahi di dalam tubuhku.
2010
Wajah Baru di Tahun Baru
“mari kita buka,” katamu.
Berpuluh tahun kita menutupnya.
Kita memang sekumpulan pemalas yang suka jarang membuka. Kecuali mengganda dan gemar melipatgandakannya. Di antara penyihir kita mengelabuinya.
Ah, sebentar lagi tahun baru. Aku ingin buka yang selalu setia menutup wajah ini; topeng
2010
Sumber: Lampung Post, 6 Maret 2010
Puisi
F. Moses
Perihal Kejujuran
tidurilah aku dengan puisi-puisimu, kekasihku, di ranjang tua yang tentunya tahu benar
setiap kita mengakhiri tiap perjalanan ini; sebab ia lebih polos dan jujur.
sepolos mata malam yang senantiasa menelanjangi kegelapan.
Sejujur perasaan malam yang selalu menepati janji kepada sang pagi.
…kecuali maut, terkadang ia tak pernah jujur kepada kita
2009
Teratak
mungkin sebaiknya kita memang tak perlu ragu, sebab selalu terancang hari esok untuk kita, katamu.
bukankah hari esok memang selalu berawal dari hari ini, kembali katamu.
kata-katamu yang selalu beterbangan sampai ke celah-celah rak piring, meja makan, kaki-kaki kursi di ruangan tamu, vas bunga hias di atas meja, bahkan hingga terselip di antara lipatan-lipatan baju ataupun kemeja di almari pakaian kita, kataku dalam hati imajinasi. Ya, kataku dalam hati yang selalu membayangkan di mana pun berada kita tak lepas dari konsep teratak. sebuah teratak yang selalu aku bangun di atas tubuhmu.
sayang, kau selalu jarang menyadari itu. kecuali menangis sembari balik bertanya.
2009
Seperti Tokoh
:Seno Gumira Ajidarma
I
aku mencarimu di setiap tengah malam, saudara, hingga berlembar kertas aku buka dengan jemari yang tak tertahankan; hingga ia membusuk dalam kertas-kertas itu—selalu dan selalu mencari namamu, saudara.
II
aku mencarimu di setiap tengah malam, saudara, menelusuri lorong-lorong museum purba tanpa nama dari kota yang paling tua ini; mencari namamu, saudara, di antara para manusia yang sudah berubah menjadi patung—yang konon mereka, pada zaman dahulu, adalah para penunggu kekasih masing-masing yang hendak kembali bilamana berhasil menenteng kepala iblis setelah senja tiba.
III
aku mencarimu di setiap tengah malam, saudara, bersama taksi yang pernah kau kemudikan—di mana empat lelaki pernah menumpangi mobilmu sembari mengancam agar kau tutup mulut sebab mereka hendak membantai keluarga di perumahan mewah di ujung pertigaan jalan itu.
IV
ya, aku selalu mencari dan mencarimu di setiap tengah malam, saudara
:ternyata kau di lembaga pemasyarakatan yang hanya berjumlah satu orang; sebuah penjara serupa istana, begitu aku mengatakannya—kau yang pernah tertangkap atas tuduhan telah mencuri senja di kota tua itu.
Saudara, aku iri, maka ajarilah aku sebuah jurus mencuri senja. biar aku serupa antagonis denganmu. Sebab dunia ini butuh tokoh antagonis agar hidup menjadi berimbang, bukan?
2009
Pisah dan afiksasi; per-an, ber-, ter-, hingga ter-kan
seperti waktu bagi pagi, siang, sore bersenja, dan malam bergemintang selalu berpisah beberapa waktu untuk kembali bertanya siapa unggul bermesra mencumbu hari: mereka memang pemaham bagi waktu itu sendiri.
terkecuali kita: pengrajin untuk menampung air mata terlihat atau ’tak untuk kemudian menamakannya sebuah perpisahan.
adakah pernah perpisahan tanpa tetes air mata? baiklah kalau begitu:
mana pernah (aku) menyukai perpisahan
sebab airmata perpisahan milik pencatat kesedihan
mana pernah (aku) membenci perpisahan
sebab airmata perpisahan milik pencatat kesenangan
mana pernah (aku) takut berpisah
sebab airmata berpisah serupa kelegaan
mana pernah (aku) berani berpisah
sebab airmata berpisah serupa pekerja penampung airmataku
maka sampai hari ini hingga berikut tak berbatas
jangan pernah beranggap kita dari bagian yang terpisahkan
kecuali kau yang pernah mati
kita pernah berpisah untuk sementara waktu
November 2009
Sumber: Lampung Post, 13 Desember 2009
Puisi
F. Moses
Waktu
Betapa mengerti waktu itu kekasih
dengan kaki letih tangan gemetar
segera kau peluk aku sambil berkata-kata.
Wajahmu semakin sayu petanda
agar segera kita menuju ke kampung Matraman
dan kampung Melayu untuk mencari malam
yang sampai saat ini belum kita temukan.
kecuali, jalan itu…
masih saja sering kudengar isak tangis
para lelaki dan perempuan
karena gerobak-gerobaknya di bongkar paksa
Jakarta, Agustus 2007
Awal dan Akhir
kau awali ceritamu dengan kesedihan
:tentang kemarau panjang sampai penghujung usia
kau tengahi ceritamu dengan kepedihan
:tentang para lelayu yang sampai kini belum terkuburkan
kau akhiri ceritamu dengan kengerian
:tentang makam-makam yang menjadi rata diselimuti aspal
Sementara aku yang mendengarkanmu
:sunyi meratap langit mencari kata-kataNya
Jakarta, Desember 2006
Kita Suatu Ketika
Petang ini
adalah celah surgawi kudengar yang mengantar
di kata-katamu
seperti riak air jatuh perlahan-lahan
merembes pada ceking tubuhku
aih..betapa munafik berkata seperti surgawi
sementara aku adalah dosa untukmu!
Lampung, Agustus 2007
Berita
Ada-ada saja:
berita senin
ada ayah tega perkosa anaknya
berita selasa
ada anak tega membunuh ayahnya
berita rabu
ada ibu tega menjual anaknya
berita kamis
ada anak tega membunuh ibunya
berita jum’at
ada kakak tega membunuh adiknya
berita Sabtu
ada kekasih tega membunuh pacarnya
yang ini bukan ada-ada saja:
berita minggu
para penggali kubur sibuk baca cerpen dan puisi
bahkan sampai lupa pada pekerjaannya!
Jakarta, 23 Desember 2005
Di Antara
di kantuk semalam
jelang tidur aku minta izin padaNya
:bisa ketemuan dengan pacar dalam mimpi nanti?”
ternyata benar
bermimpi pacar datang bawa sekeranjang bunga
namanya bunga harum sedap malam
yang sebentar lagi akan di simpan dalam lemari baju
di antara kaos kaki, kutang, dan celana dalam
katanya: “kelak untuk aku agar wangi”
sebagai kenangan darinya, pada jasadku kelak
Lampung, Juni 2007
Belajar
ayah belajar
karena tugas kantornya
ibu belajar
tentang bahan masakan untuk hari raya
kakak belajar
untuk ujian selepas tahun baru
adik juga belajar
di depan televisi yang menayangkan adegan ciuman sepasang kekasih
—karena lima tahun tak bertemu—
gawat!
Jakarta, Desember 2005
Kata Anak Kecil di Sebuah Makam
Ayah
bagaimana kabarmu di sana?
di sini merindu
Ayah
kalau kebetulan kau tengah makan malam denganNya
sesekali berbisik sambil berkelakarlah padaNya
:tentang berapa hari lagi dunia tutup usia…
Lampung, Febuari 2007
Tentang Malam
tentang malam itu
kau berkata:
adalah malam tertatih langkah para peminta
pada rapuh tongkat
sambil menghitung kaki penuh bilur
bermahkota baju kumal
sobek bertambal jahitan kain lusuh
tentang malam yang baginya
adalah istirahat sementara
adalah kubur sementara
sekadar pejamkan mata dari perih dan letih
menanti pagi lewat angan yang kusam
menjemput luka
menantiNya
Lampung, Juli 2007
Sumber: Sriwijaya Post, 2007