Litani Kata

DSC_0063
memasuki terbitnya matahari di Ruteng, Manggarai, NTT
Aku percaya pada satu kata

Frase dan klausa berkuasa

Mencipta langit puisi

Dan akan satu anak kalimat

Judulnya tunggal milik semua

Dikandung dari roh paragraf

Dilahirkan penyair perawan

Yang menderita sengsara

Dalam pemerintahan pembaca tak bernama

Kata wafat dan dimakamkan

Turun ke tempat penantian

Pada hari ketiga bangkit di tubuh pembacanya

Naik ke taman makna

Duduk di sebelah frase dan klausa

Dari situ kata akan datang

Mengadili kalimat yang hidup dan yang mati

Aku percaya akan roh puisi

Kata-katanya tak pelik namun puitis

Persekutuan para penyair puitis

Pengampunan bagi penyempitan makna

Kebangkitan bagi kata yang hilang

Kehidupan kata dalam puisi

Semoga senantiasa menjagamu dari racun waktu

Amin.

Telukbetung, Mei 2011

 

Puisi di Sulawesi Tenggara

Pembaca budiman, berikut beberapa catatan. Apakah puisi ataukah sajak — tentu saja tanpa tendensi.  Kecuali “etika kontemplatif” , maksudnya lebih kurang dengan sadar penghargaan bagi sebuah imajinasi ialah kelahiran beberapa catatan. Syukur dapat bertukar getar. salam sastraholic

F. Moses

Permintaan Kesaksian

Lanjutkan membaca “Puisi di Sulawesi Tenggara”

Dari Teluk Sampai Tanjung

F. Moses

Dari Teluk Sampai Tanjung

di laut kita pernah memancing
tapi ikan telanjur mahir menyelinap
di antara terumbu karang
“di Teluk ini tanjung masih terlalu garang
bagi si gamang bersitegang tegap di tubuh karang,” bisikmu

kita pun bergegas menafsir waktu
meninggalkan Teluk ke Tanjungkarang
“terlalu ringkih bagi kaki malas beralas,” bisikmu lagi

kaki beralas selalu mampu di Tanjungkarang
kaki telanjang cukup sampai di Tanjung
“Tanjung apa?” katamu.
“Tanjunggarang,” kataku.

2013

Katedral Tanjungkarang II

selalu kurumuskan segala ingatan
atas namaMu
sekadar doa dari lenguh domba dasar jurang
di rumah putih Tanjungkarang

selalu saja kuingat dirimu
selalu saja kukenang sebuah kota
darimu
Tanjungkarang adalah iman bagi puitika

segesit gerak ikan di antara terumbu karang
selesat ingatan seluruh bagi Tanjungkarang
bagi puteraMu seorang
menguatkanku bak batu karang

hari ini masih kubilang
mengingat Tanjungkarang
;musnah segala pedih meski berlancip karang

2013

Kunang-Kunang Kenangan Bakauheuni-Way Kanan

kunang-kunang kenangan melata
landai pandai meliuk di perbukitan tubuhmu
menjawil sepanjang perjalanan
dari kata ke kata
dari kota ke kota
mengitari kenanganmu

kunang-kunang kenangan
jua menjelma seribu frasa
menziarahi lekuk teluk tubuhmu
untuk bersegera di sungai perbukitanmu

girang kutafsir kunang-kunang kenangan
dari lekuk perbukitanmu yang menganga
menampung segala resah
merampungkan segala desah
;dari kota ke kota

di antara tiap lekuk perbukitanmu
adalah kunang-kunang kenangan
;bila malam tiba, kerlipmu menjelma
dari frasa ke frasa
kembali melahirkanmu sebagai kata-kata

2013

Lapangan di Kompleks Gubernuran Telukbetung

selalu kuingat janji kita di lapangan itu
seluas selapang perasaan yang tersusun rapi
kamu bilang begitu
aku bilang begini
;kita yang memang tak pernah sama. Kecuali dalam dusta.

dan kita pun kembali menyusun janji
untuk esok lebih baik
sekadar memberi kabar dan ciuman terakhir paling sempurna
lantas kita sempatkan makan bakso dan minum es teh manis
sebelum ucap mengubah segala pedas dan manis

kamu masih bilang begitu
aku masih bilang begini
kita masih saja tak sama.
Kecuali ingar nafsu

2013

Sumber: Lampung Post, 15 Juni 2014

..dari Beringharjo hingga Hujan di Teras Rumahmu

Pembaca budiman, berikut beberapa puisi sederhana saya tampilkan. Semoga berkenan.

Beringharjo*

aku menunggumu di pasar Beringharjo

bersama nostalgia tak lekang

masih kuingat dan kukenang

dalam sehisap kretek tepat di pelipiran “bangjo”

penyair gelisah

sejumlah orang bercakap tentang kemahsyuran dan penyinyiran sebuah kota

musisi jalanan yang belum malas beraksi

juga beberapa pasang kekasih muda yang merencanakan gaun pengantin dan bertukar buku  dan kaset lama

aku menunggumu di Beringharjo

berkhayal dirimu menggenggam sejumput cerita tentang kabut kaliurang dan

pendaman magma kesetiaan merapi

aku menunggumu di Beringharjo

kelak kita jimpit dan menyimpannya rapi-tepat  di saku ingatan

aku menunggumu di Beringharjo

tepat di bawah awan putih berlangit biru

“Langit seperti permukaan agar-agar,” kelak kubilang padamu

aku menunggumu di Beringharjo

sebentar kita memilih atau sekadar melihat pakaian serta beberapa pernik

untuk membuat makin malas berpulang

*)Pasar tua di Yogyakarta sejak tahun 1758

Yogya 210413

Di Sebuah Bordes

akhirnya kita pun menunggu sinyal kedatangan kereta Bogowonto

“rencana besok kita tiba di suatu kota, di mana ingatan bersiap mengoyak-merajam kenangan penuh seluruh,” katamu

Harusnya kau di sampingku, bersaksi bagi  derit dan sinyal yang terus memusar-melaju derap  waktu

“Kelak kita tak akan pernah mampu melupakan perjalanan ini,” tambahmu lagi, “dan kelak bila kerinduan memanggil, kita pun makin memahami tentang kesembuhan dari menanggung sebuah kenangan

dan kita pun tahu, segala tempuh kita bersama, selagi kau di sampingku; segala ngarai

pun tubir, bukanlah labirin perjalanan ini.Kecuali ingatan, ia adalah kita yang tak akan pernah sanggup untuk saling melupakan

Jakarta-Yogya, 190413

Jelma

segala puisi bagi kemuliaan

sebagaimana kau dan aku pernah tahu

: kita adalah puisi yang menjadi daging

segala frasa di benakmu

ialah kalimat menjelmaku

: “puisi gembira memang obat paling mujarab

tapi semangat patah mengeringkan tulang

                                                                                                            Bandung, 2013

Hujan di Teras Rumahmu

turun kata-katamu rintik-rintik

kamu bilang titik

aku bilang koma

orang tuamu tanda seru

hati kita tanda kutip

tanpa pernah titik dua

            di luar masih tanda tanya

semoga hujan mendinginkan iman puitika kita

amin

                                                                                                            Bandung 2013

Sumber: Lampung Post, 14 Juli 2013

 

 

Puisi-Puisi

Pembaca budiman, berikut beberapa puisi sederhana saya. semoga berkenan.

Di Katedral Tanjungkarang

di tingkap cericit merdu

terbang dari mazmur catatanMu

meniupkan angin

kicaukan ihwal kelahiran

serta kenangan

juga beberapa kisah

dilipat segala peristiwa

atas namaMu dan anak manusia

kudengar kami masih manusia hilang

lenguh domba dasar jurang

                                                                       Tanjungkarang, Juni 2011

Kenangan

sebagaimana kenangan

menjelma kunang-kunang

merdu suaramu terngiang

di tiap sungsang kenangan

sebagaimana batas rindu

menggamit terjal kedalaman

belantara kau dan aku

di rapuh jembatan zaman

sebagaimana kunang-kunang

membawa kenang-kenangan

seperti di atas benang

                     jalan kepadamu

                                     Telukbetung, Januari 2012

Malam di Jalan Thamrin

kabut malam ialah debu beterbangan

kunang-kunang terlahir dari rahim lampu kota

melata dari Permakaman Karet

sebagaimana kata-kata ialah selangkah jurang bagi bahasa

bilamana frasa dan klausa tak lagi bersaudara

kau dan aku tahu sebuah alasan

:kalimat hanyalah bagi kita masing-masing agar selamat

                                                                                         Jakarta, April 2012

Pukul 16.59

:Teater Satu dan kOber

sebentar lagi senja

dan itu sangat berpotensi

merusak kewarasan mencintaimu

dari cara paling benar

                        Merak-Bakauheuni, 2012

sumber: Lampung Post, 27 Januari 2013

Sajak Mesra

Oleh F. Moses

Sajak Sakit

I

Di antara gelas bersisa air putih yang tak lagi hangat, susu steril nestle yang kau beli kemarin di sore pucat; hampir beku disergap dingin pagi.

Tubuhnya masih mengigil memangil-manggil mustahil

Gemeretak giginya sengaja ditahan agar tak bunyi

“Biar tetap sunyi,” katanya

Setidaknya tersisa dua butir penurun rasa panas dan mual

Semoga jauh lebih mampu dari seperti biasa kau memeluknya

Lantas sempatkan bercinta dari panas yang tersisa, meski ia masih tampak kesulitan menahan demam; andai saja kau di sebelahnya

Hanya dua buah buku kusam berkisah  tokoh merah itu, asbak berisi debu dari empat batang rokok mentol, gitar bersenar nilon kendur ditambah copot satu senar, dan tiga charger tampak berserakan

II

Di luar hampir terang

Sepagi ini, kau mengingatkan dirinya dari setetes embun

“Ah, aku masih tak biasa, menikmati segar pagi dari sakit yang belum rampung,” katanya sambil menahan gigil dan beberapa linu pada persendian

Ia pun pergi. Ternyata menahan sakit lebih mesra mengingat-Nya.

Telukbetung 2012

Sajak Mesra

merapal khusyuk lembah paling ngaraimu

tersesat tak tahu jalan pulang

mengendus lekuk ranum tengkukmu

menjawil ingatan pelipiran beranda rumah kenanganmu

menjimpit gerak bulan paling lambatmu

menanti  hadir mesra detak jantung lain

:semesra baca kitab suci

Barangkali ini bernama sejati hidup; mesra itu doa

Yogyakarta 2012

Kepung

sepi mengepung

angin tingkap berlalu

kudengar sedihmu bertalu-talu

kutetak rindu

biar rampung segala cemas

dari resah tunas

tiup satu rindu

kepada kerap

tersergap sula rindumu

seperti rapuh gerak kaki-tangan ikan di antara terumbu karang

: aku menujumu

menebar sejumput rindu

di halaman teratakmu

Kedaton-Telukbetung, 2012

Belajar Mesra

lelaki itu mencangkung

menghadap anak pohon kenangan

yang ditanam setahun lalu

temaram bahu bulan

semilir angin menetak ingatan

tiada sesiapa

ini baru suka nestapa, katanya ringan

dibakar lalu ditarik sehisap

: tiada lebih indah selain belajar mesra dengan sepi

Pelantun Bisa

ia bernyanyi dengan sendu

bagi kekasih malam sunyi berangin sedih

“Ini lagu buatmu, tanda kasih kukalungkan

pada permukaan ranum lehermu.

Biar tergantung selalu dendang rindu di dadamu,” katanya

Lantas menarilah perempuan itu di padang duri

sendiri bak kelebat bintang

membubungkan berahi mesra bagi lelaki sepi

bersarang lantun santun rupa pantun

“Ini lagu kita?” tanya perempuan itu

Lelaki itu tak menjawab

Sumber:  Lampost, 5 Agustus 2012

dari Litani ke Soliter

Pembaca terkasih, berikut puisi -puisi karya F. Moses yang dimuat Lampung Post Minggu, 4 Desember 2011. Semoga berkenan.

Litani Kata

Aku percaya pada satu kata

Frase dan klausa berkuasa

Mencipta langit puisi

Dan akan satu anak kalimat

Judulnya tunggal milik semua

Dikandung dari roh paragraf

Dilahirkan penyair perawan

Yang menderita sengsara

Dalam pemerintahan pembaca tak bernama

Kata wafat dan dimakamkan

Turun ke tempat penantian

Pada hari ketiga bangkit di tubuh pembacanya

Naik ke taman makna

Duduk di sebelah frase dan klausa

Dari situ kata akan datang

Mengadili kalimat yang hidup dan yang mati

Aku percaya akan roh puisi

Kata-katanya tak pelik namun puitis

Persekutuan para penyair puitis

Pengampunan bagi penyempitan makna

Kebangkitan bagi kata yang hilang

Kehidupan kata dalam puisi

Semoga senantiasa menjagamu dari racun waktu

Amin.

Telukbetung, Mei 2011

Makan Malam

Sepiring kita berdua

dua setengah centong nasi sepi

sepotong daging malam

beberapa lauk sisa keramaian

tangan adalah sendok

kaki adalah garpu

sungguh indah makan berdua denganmu

kalau haus tinggal minum air matamu

kau haus juga minum air mataku

kenyang langsung kita tidur

bernyanyi bersama dalam dengkur

kalau kau pusing tinggal masuk mimpiku

kalau aku pusing juga tinggal masuk mimpimu

“Mudah, kan,” kataku

“Kenapa juga makan malam mesti dibikin susah,” katamu

jadi silakan mari makan malam bersama kami

dijamin kenyang seumur jagung

Telukbetung, April—Mei 2011-05-31

Petik Bunga di Taman Rumahmu

jalan-jalan di ranum pipi

buka baju segala lagak mandi hujan

tergelincir di licin leher

tak kuasa terlalu saru mendaki bukit, aku malu

lebih mulia berpintas motong jalan di tengahnya

sasar jalan ke bawah makin malu

petik bunga malam-malam

malah digampar kedua orang tuamu

terancam dibunuh rakyat sekampung

“Ini Timur, Bung,” kata mereka

Telukbetung-Yogyakarta, Mei 2011

Sekolah Malam

“Aku ingin kembali sekolah, Yah,” kata sang anak memelas.

“Kepada siapa? sudah tak mampu membiayaimu, macam-macam toh, tak ada lagi tempat buat orang susah macam kita.”

–“Kepada bulan dan bintang aku belajar, Yah.”

Memang lebih mudah baginya sekolah saat malam, tatkala orang-orang pada merem dan diam; tak ada jeweran apalagi dikte.

Ia melangkah bersama ransel biru berisi dua lembar kertas satu pensil.

Mencatat tujuh bintang dan satu bulan, jauh lebih indah dari kimia fisika, apalagi moral, katanya membatin.

Telukbetung, Juni 2011-06-15

Soliter Gerimis

Di teras rumah, kita pernah bak sepasang gerimis; tak pernah ragu menikam tubuh

Memang terlalu mulia bila bumi tubuhmu adalah pepohonan rindang terlalu bersih

Kau tatap mataku

Aku kembali balas ke matamu. Begitu seterusnya

masihkah perjumpaan ini seperti gerimis paling dingin membatu. Tanpa pernah menyelusup tanah ceruk tubuhmu. Lekuk lengan lekuk pinggul juga paling ngarai tubuhmu.

Sayang kita terlalu bak sepasang gerimis; selalu bersama untuk menyelusup celah-celah kenangan kering. Tanpa pernah menggenang untuk kembali mengenang dari teras rumah masing-masing ingatan yang terlalu gampang melekang.

Kau pilih kemarau

Aku memilih hujan. Begitu seterusnya

Kita memang tak pernah sama. Kecuali dalam dusta

Beranikah kau jujur bak penyair? Setia bermalam menetak kata menjadi sekeping dua keping makna?

Sayang, kau lebih memilih arti ketimbang makna

Sayang, kau lebih mengenal pengartian ketimbang pemaknaan

Terlanjur gawat; kita sama lebih memilih berarti daripada memaknakan arti

Dasar kita gerimis, katamu. Dekat di mata tanpa sesap di hati.

Begitulah kemarin, kita bak sepasang gerimis, kau masih ingat?

Telukbetung, Oktober 2011

 

Sajak-sajak F. Moses

Kisah Semalam

setiap malam meyaksikan matahari pagi dari sebalik punggungmu

berharap kau bilang: selamat pagi kekasih, akulah pagimu

kamulah pagiku, katamu menambah

pagi dari malam berkabut semalaman kita tersesat dalam tragedi

tragedi kebekuan kebersamaan kita senyata payah.

Kecuali sengal napasmu, memacu derak ranjang yang jauh aku kuasai. Berakhir kau menguasaiku, terlebih ranjang ini

selalu kembali kita membakarnya selepas malam bersahutan; dari matahari pagi sebalik punggunggu. Bukan sekadar kembali menghangatkan, melainkan panas tubuhku yang ini kali mampu membakar tubuhmu.

aku hangus, katamu.

Gg Manyar-Telukbetung, Februari 2010

Yang Terjadi

begini jadinya;

kita tak pernah sama

di istana keabadian

berperabot angin, daun, dan pot berakar tanpa pernah menyiraminya

seperti daun berjatuhan tertangkup dengan bibir

seperti lembab pagi jauh bersentuh matahari

seperti tangis bayi pagi hari kehabisan air susu

dari perjalanan terakhir seorang yang selesai menjadi ibu

terlebih seperti kering matamu memerhatikan langkah ini

seolah takkan kembali lagi

dari benak musim yang selalu enggan kita beri nama

;dalam kesetiaan kita bersandiwara di dunia entah ini

Telukbetung-Jakarta, 2010

Depan Gereja Tanjungkarang

mendung menggantung

berdedas hujan tiada henti

bunyi serupa detak kerinduan kita

mengemas cinta

merangkum tanya

mendesah pasrah

betapa puluhan tahun jauh dari sua

kita berkarat lantaran larat

seperti kapal enggan sauh

dalam kota menua dan menahun

kita senantiasa mencari persamaan

:tentang siapa lebih tua dari tubuh dan tembok-tembok itu.

Hening. Bening. Tertampar tanya. Lonceng menggema duabelas kali.

Kau pun tersenyum.

2010, Tanjungkarang

Dari Sebutir Debu

“mataku kerasukan debu,” katamu setelah perjalanan jauh

aku seka matamu. Aku seka keringat di lehermu. Aku tiup matamu.

Dari perjalanan jauh ini

perjalanan kita memang selau dipenuhi berahi.

Berahi api selalu membakar ranjang kita semalaman. Tiada henti. Tiada percuma.

Berahi selalu mengantar api menjadikannya abu, sela penyair tua itu. kata-katanya masih membekas dalam ingatanku.

Sekali waktu, aku melihatmu tak berdaya. Dicumbu berpeluk debu yang sedemikian sengat. Aku hangus dipeluk debu, katamu tadi pagi.

Kau tinggal rangka.

Kecuali kata-katamu, senantiasa kuziarahi di dalam tubuhku.

2010

Wajah Baru di Tahun Baru

“mari kita buka,” katamu.

Berpuluh tahun kita menutupnya.

Kita memang sekumpulan pemalas yang suka jarang membuka. Kecuali mengganda dan gemar melipatgandakannya. Di antara penyihir kita mengelabuinya.

Ah, sebentar lagi tahun baru. Aku ingin buka yang selalu setia menutup wajah ini; topeng

2010

Sumber: Lampung Post, 6 Maret 2010

Puisi

F. Moses

Perihal Kejujuran

tidurilah aku dengan puisi-puisimu, kekasihku, di ranjang tua yang tentunya tahu benar

setiap kita mengakhiri tiap perjalanan ini; sebab ia lebih polos dan jujur.

sepolos mata malam yang senantiasa menelanjangi kegelapan.

Sejujur perasaan malam yang selalu menepati janji kepada sang pagi.

…kecuali maut, terkadang ia tak pernah jujur kepada kita

2009

Teratak

mungkin sebaiknya kita memang tak perlu ragu, sebab selalu terancang hari esok untuk kita, katamu.

bukankah hari esok memang selalu berawal dari hari ini, kembali katamu.

kata-katamu yang selalu beterbangan sampai ke celah-celah rak piring, meja makan, kaki-kaki kursi di ruangan tamu, vas bunga hias di atas meja, bahkan hingga terselip di antara lipatan-lipatan baju ataupun kemeja di almari pakaian kita, kataku dalam hati imajinasi. Ya, kataku dalam hati yang selalu membayangkan di mana pun berada kita tak lepas dari konsep teratak. sebuah teratak yang selalu aku bangun di atas tubuhmu.

sayang, kau selalu jarang menyadari itu. kecuali menangis sembari balik bertanya.

2009

Seperti Tokoh

:Seno Gumira Ajidarma

I

aku mencarimu di setiap tengah malam, saudara, hingga berlembar kertas aku buka dengan jemari yang tak tertahankan; hingga ia membusuk dalam kertas-kertas itu—selalu dan selalu mencari namamu, saudara.

II

aku mencarimu di setiap tengah malam, saudara, menelusuri lorong-lorong museum purba tanpa nama dari kota yang paling tua ini; mencari namamu, saudara, di antara para manusia yang sudah berubah menjadi patung—yang konon mereka, pada zaman dahulu, adalah para penunggu kekasih masing-masing yang hendak kembali bilamana berhasil menenteng kepala iblis setelah senja tiba.

III

aku mencarimu di setiap tengah malam, saudara, bersama taksi yang pernah kau kemudikan—di mana empat lelaki pernah menumpangi mobilmu sembari mengancam agar kau tutup mulut sebab mereka hendak membantai keluarga di perumahan mewah di ujung pertigaan jalan itu.

IV

ya, aku selalu mencari dan mencarimu di setiap tengah malam, saudara

:ternyata  kau di lembaga pemasyarakatan yang hanya berjumlah satu orang; sebuah penjara serupa istana, begitu aku mengatakannya—kau yang pernah tertangkap atas tuduhan telah mencuri senja di kota tua itu.

Saudara, aku iri, maka ajarilah aku sebuah jurus mencuri senja. biar aku serupa antagonis denganmu. Sebab dunia ini butuh tokoh antagonis agar hidup menjadi berimbang, bukan?

2009

Pisah dan afiksasi; per-an, ber-, ter-, hingga ter-kan

seperti waktu bagi pagi, siang, sore bersenja, dan malam bergemintang selalu berpisah beberapa waktu untuk kembali bertanya siapa unggul bermesra mencumbu hari: mereka memang pemaham bagi waktu  itu sendiri.

terkecuali kita: pengrajin untuk menampung air mata terlihat atau ’tak untuk kemudian menamakannya sebuah perpisahan.

adakah pernah perpisahan tanpa tetes air mata? baiklah kalau begitu:

mana pernah (aku) menyukai perpisahan

sebab airmata perpisahan milik pencatat kesedihan

mana pernah (aku) membenci perpisahan

sebab airmata perpisahan milik pencatat kesenangan

mana pernah (aku) takut berpisah

sebab airmata berpisah serupa kelegaan

mana pernah (aku) berani berpisah

sebab airmata berpisah serupa pekerja penampung airmataku

maka sampai hari ini hingga berikut tak berbatas

jangan pernah beranggap kita dari bagian yang terpisahkan

kecuali kau yang pernah mati

kita pernah berpisah untuk sementara waktu

November 2009

Sumber: Lampung Post, 13 Desember 2009

Puisi

F. Moses

Waktu

Betapa mengerti waktu itu kekasih
dengan kaki letih tangan gemetar
segera kau peluk aku sambil berkata-kata.
Wajahmu semakin sayu petanda
agar segera kita menuju ke kampung Matraman
dan kampung Melayu untuk mencari malam
yang sampai saat ini belum kita temukan.

kecuali, jalan itu…
masih saja sering kudengar isak tangis
para lelaki dan perempuan
karena gerobak-gerobaknya di bongkar paksa
Jakarta, Agustus 2007

Awal dan Akhir

kau awali ceritamu dengan kesedihan
:tentang kemarau panjang sampai penghujung usia
kau tengahi ceritamu dengan kepedihan
:tentang para lelayu yang sampai kini belum terkuburkan
kau akhiri ceritamu dengan kengerian
:tentang makam-makam yang menjadi rata diselimuti aspal

Sementara aku yang mendengarkanmu
:sunyi meratap langit mencari kata-kataNya
Jakarta, Desember 2006

Kita Suatu Ketika

Petang ini
adalah celah surgawi kudengar yang mengantar
di kata-katamu
seperti riak air jatuh perlahan-lahan
merembes pada ceking tubuhku

aih..betapa munafik berkata seperti surgawi
sementara aku adalah dosa untukmu!
Lampung, Agustus 2007

Berita

Ada-ada saja:
berita senin
ada ayah tega perkosa anaknya
berita selasa
ada anak tega membunuh ayahnya
berita rabu
ada ibu tega menjual anaknya
berita kamis
ada anak tega membunuh ibunya
berita jum’at
ada kakak tega membunuh adiknya
berita Sabtu
ada kekasih tega membunuh pacarnya

yang ini bukan ada-ada saja:
berita minggu
para penggali kubur sibuk baca cerpen dan puisi
bahkan sampai lupa pada pekerjaannya!
Jakarta, 23 Desember 2005

Di Antara

di kantuk semalam
jelang tidur aku minta izin padaNya
:bisa ketemuan dengan pacar dalam mimpi nanti?”
ternyata benar

bermimpi pacar datang bawa sekeranjang bunga
namanya bunga harum sedap malam
yang sebentar lagi akan di simpan dalam lemari baju
di antara kaos kaki, kutang, dan celana dalam
katanya: “kelak untuk aku agar wangi”
sebagai kenangan darinya, pada jasadku kelak
Lampung, Juni 2007

Belajar

ayah belajar
karena tugas kantornya
ibu belajar
tentang bahan masakan untuk hari raya
kakak belajar
untuk ujian selepas tahun baru

adik juga belajar
di depan televisi yang menayangkan adegan ciuman sepasang kekasih
—karena lima tahun tak bertemu—
gawat!
Jakarta, Desember 2005

Kata Anak Kecil di Sebuah Makam

Ayah
bagaimana kabarmu di sana?
di sini merindu

Ayah
kalau kebetulan kau tengah makan malam denganNya
sesekali berbisik sambil berkelakarlah padaNya
:tentang berapa hari lagi dunia tutup usia…
Lampung, Febuari 2007

Tentang Malam

tentang malam itu
kau berkata:
adalah malam tertatih langkah para peminta
pada rapuh tongkat
sambil menghitung kaki penuh bilur
bermahkota baju kumal
sobek bertambal jahitan kain lusuh
tentang malam yang baginya

adalah istirahat sementara
adalah kubur sementara
sekadar pejamkan mata dari perih dan letih
menanti pagi lewat angan yang kusam
menjemput luka
menantiNya
Lampung, Juli 2007

Sumber: Sriwijaya Post, 2007