Kesenian (di) Lampung 2009

Isbedy Stiawan Z.S.

Sastrawan

Kesenian tradisional masih mendapat tempat lebih baik dibanding modern di Provinsi Lampung meski sebagian orang akan membantah pernyataan ini. Tetapi, kesenian tradisional (Lampung) ternyata juga belum bisa banyak berbuat manakala berhadapan dengan strategi kebudayaan yang dibuat pemerintah (daerah). Pasalnya, pemerintah masih menomorsatukan dunia pariwisata yang dianggap bisa mendulang devisa bagi pendapatan asli daerah (PAD).

Anggaran di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung konon pada 2010 sebesar 80% untuk pariwisata dan sisanya untuk kebudayaan, demikian pernyataan Dr. Khaidarmansyah dalam diskusi Bilik Jumpa Seniman-Mahasiswa (Bijusa) di UKMBS Unila beberapa waktu lalu. Artinya, kebudayaan–di dalamnya kesenian yang harus pula berbagi antara tradisional dan modern–amatlah kecil. Dus, ini menunjukkan pemerintah provinsi masih kecil perhatiannya kepada kesenian.

Lantas, kesimpulan diskusi, pemerintah paling bertanggung jawab (kepedulian) untuk memajukan kesenian yang hidup, tumbuh, dan berkembang di daerah ini masih sulit diharapkan bisa terwujud. Sektor lain di luar kesenian, seperti politik dan belanja aparatur pemerintah masih mendominasi. Padahal, kalau saja hasil pajak dari dunia hiburan bisa dimaksimalkan, niscaya bisa mengongkosi kegiatan berkesenian. Atau, bantuan dari pihak ketiga bisa diberdayakan, niscaya pula bisa menghidupi kesenian (termasuk yang modern).

Geliat kesenian (di) Lampung pada 2009 sebenarnya terbilang semarak. Misalnya, teater: dua grup teater papan atas Lampung, yaitu Teater Satu pimpinan Iswadi Pratama dan Komunitas Berkat Yakin (KoBer) yang digawangi Ari Pahala Hutabarat telah mengukir prestasi di panggung teater. Teater Satu, selain mementaskan Kisah-kisah yang Mengingatkan di Taman Budaya Lampung, juga tampil di Salihara, Jakarta. Begitu pula KoBer yang mendapat hibah seni dari Yayasan Kelola telah tampil di Padangpanjang, Bengkulu, dan Salihara Jakarta. Kekuatan dua grup teater ini–tanpa mengabaikan kelompok lainnya–sudah cukup memperkenalkan Lampung di kancah seni nasional.

Sayangnya, pemerintah daerah rasanya belum menyentuh kedua teater secara maksimal. Boleh jadi pemda berkilah, yang “diurus” bukan hanya grup teater, melainkan banyak jurai kesenian yang mesti dipedulikan. Namun, perimbangannya yang mesti diperhatikan. Berapa besar pemda menggelontorkan bantuan ke sanggar-sanggar seni yang ternyata ada yang cuma papan nama, sedangkan grup teater yang nyata-nyata “bekerja” tidak didukung, tidak dibantu. Lanjutkan membaca “Kesenian (di) Lampung 2009”

Tentang Gadis di Koran Itu

Cerpen oleh Nurwinda Apriyani (SMAN 1 Pringsewu, Lampung)
Apa kamu baca koran pagi ini? Mereka bilang, orok itu dikubur di situ. Tempat di mana kamu buang hajat. Entah tangan siapa yang lakukan itu. Meski tangan ia cuci bersih, meski kuman tak terlihat oleh mata, tetap saja ada zat yang mampu melihat sesuatu yang tak dapat kau dan aku lihat.

***
Rumah. Cat putih. Bersih. Kursi kayu panjang bercat putih. Garis polisi. Aku berdiri diantara mereka orang – orang yang kukenal, berkerumun di sana. Orang -orang di rumah itu. Polisi yang mendadak jadi tukang gali kubur. Kamera yang terus merekam seakan ini adalah film layar lebar. Pak RT yang sok menampang, berharap mungkin diwawancara sehingga wajahnya dapat terpampang di Televisi. Orang -orang yang tetap melupakan hal yang seharusnya ia kerjakan sekarang. Seperti aku. Hal pagi ini membuatku lupa, kalau jam terus berputar, kalau aku sudah terlambat, terlambat masuk sekolah.

Kaki pun membawaku jauh dari tempat yang telah menghipnotisku. Lanjutkan membaca “Tentang Gadis di Koran Itu”

Antologi Puisi “Rumpun Kita”

Penyusun:
Shamsudin Othman
Rahimidin Zahari
Mohamad Saleeh Rahamad
S.M. Zakir

Percetakan : Univision Press Sdn. Bhd. – Selangor
Penerbit : Persatuan Penulis Nasional Malaysia [PENA], Kuala Lumpur
Edisi Pertama : November, 2009
ISBN : 983-42578-00-8

Buku ini merupakan antologi puisi dari penyair-penyair Malaysia, Indonesia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand yang diterbitkan untuk Pesta Penyair Nusantara (PPN) III di Kuala Lumpur, Malaysia, 20-22 November 2009. Sumber: http://zulzet.multiply.com/reviews

Di Antara

di kantuk semalam
jelang tidur aku minta izin padaNya
:bisa ketemuan dengan pacar dalam mimpi nanti?”
ternyata benar

bermimpi pacar datang bawa sekeranjang bunga
namanya bunga harum sedap malam
yang sebentar lagi akan di simpan dalam lemari baju
di antara kaos kaki, kutang, dan celana dalam
katanya: “kelak untuk aku agar wangi”
sebagai kenangan darinya, pada jasadku kelak

Lampung, Juni 2007

Puisi

F. Moses

Perihal Kejujuran

tidurilah aku dengan puisi-puisimu, kekasihku, di ranjang tua yang tentunya tahu benar

setiap kita mengakhiri tiap perjalanan ini; sebab ia lebih polos dan jujur.

sepolos mata malam yang senantiasa menelanjangi kegelapan.

Sejujur perasaan malam yang selalu menepati janji kepada sang pagi.

…kecuali maut, terkadang ia tak pernah jujur kepada kita

2009

Teratak

mungkin sebaiknya kita memang tak perlu ragu, sebab selalu terancang hari esok untuk kita, katamu.

bukankah hari esok memang selalu berawal dari hari ini, kembali katamu.

kata-katamu yang selalu beterbangan sampai ke celah-celah rak piring, meja makan, kaki-kaki kursi di ruangan tamu, vas bunga hias di atas meja, bahkan hingga terselip di antara lipatan-lipatan baju ataupun kemeja di almari pakaian kita, kataku dalam hati imajinasi. Ya, kataku dalam hati yang selalu membayangkan di mana pun berada kita tak lepas dari konsep teratak. sebuah teratak yang selalu aku bangun di atas tubuhmu.

sayang, kau selalu jarang menyadari itu. kecuali menangis sembari balik bertanya.

2009

Seperti Tokoh

:Seno Gumira Ajidarma

I

aku mencarimu di setiap tengah malam, saudara, hingga berlembar kertas aku buka dengan jemari yang tak tertahankan; hingga ia membusuk dalam kertas-kertas itu—selalu dan selalu mencari namamu, saudara.

II

aku mencarimu di setiap tengah malam, saudara, menelusuri lorong-lorong museum purba tanpa nama dari kota yang paling tua ini; mencari namamu, saudara, di antara para manusia yang sudah berubah menjadi patung—yang konon mereka, pada zaman dahulu, adalah para penunggu kekasih masing-masing yang hendak kembali bilamana berhasil menenteng kepala iblis setelah senja tiba.

III

aku mencarimu di setiap tengah malam, saudara, bersama taksi yang pernah kau kemudikan—di mana empat lelaki pernah menumpangi mobilmu sembari mengancam agar kau tutup mulut sebab mereka hendak membantai keluarga di perumahan mewah di ujung pertigaan jalan itu.

IV

ya, aku selalu mencari dan mencarimu di setiap tengah malam, saudara

:ternyata  kau di lembaga pemasyarakatan yang hanya berjumlah satu orang; sebuah penjara serupa istana, begitu aku mengatakannya—kau yang pernah tertangkap atas tuduhan telah mencuri senja di kota tua itu.

Saudara, aku iri, maka ajarilah aku sebuah jurus mencuri senja. biar aku serupa antagonis denganmu. Sebab dunia ini butuh tokoh antagonis agar hidup menjadi berimbang, bukan?

2009

Pisah dan afiksasi; per-an, ber-, ter-, hingga ter-kan

seperti waktu bagi pagi, siang, sore bersenja, dan malam bergemintang selalu berpisah beberapa waktu untuk kembali bertanya siapa unggul bermesra mencumbu hari: mereka memang pemaham bagi waktu  itu sendiri.

terkecuali kita: pengrajin untuk menampung air mata terlihat atau ’tak untuk kemudian menamakannya sebuah perpisahan.

adakah pernah perpisahan tanpa tetes air mata? baiklah kalau begitu:

mana pernah (aku) menyukai perpisahan

sebab airmata perpisahan milik pencatat kesedihan

mana pernah (aku) membenci perpisahan

sebab airmata perpisahan milik pencatat kesenangan

mana pernah (aku) takut berpisah

sebab airmata berpisah serupa kelegaan

mana pernah (aku) berani berpisah

sebab airmata berpisah serupa pekerja penampung airmataku

maka sampai hari ini hingga berikut tak berbatas

jangan pernah beranggap kita dari bagian yang terpisahkan

kecuali kau yang pernah mati

kita pernah berpisah untuk sementara waktu

November 2009

Sumber: Lampung Post, 13 Desember 2009