Bahasa Indonesia (kan) Saja

F. Moses

SUATU ketika, seorang teman berkata, “Kau harus lebih tangar agar tak menyesal di kemudian hari.”

Selain kata tangar, ia juga menyelipkan kata rona, halimun, dan biring ke dalam beberapa kalimatnya. Saya tak ingat betul kalimat-kalimatnya. Bingunglah saya. Mungkin teman saya yang satu ini telah “keracunan” bahasa puisi, pikir saya. Tak lama teman saya yang satu lagi menyergah, “Iya, kata-katanya terlalu arkais.” Nah, semakin bingunglah saya. Apalagi itu arkais.

Dengan jumawa, teman saya menjelaskan, yang intinya demikian: tangar berarti hati-hati, rona berarti wajah, halimun berarti kabut, arkaik berarti kata-kata yang tak begitu dikenal, dan biring berarti kekuning-kuningan. Setelah penjelasan itu, tak lama berselang, teman saya pun pergi. Tinggalah saya sendiri, larut dalam pikiran.

Salahkah teman saya menggunakan kata-kata itu? Atau justru sebaliknya, saya salah karena tak memahami salah satu dari kata-katanya? Untuk melegakan hati, saya pun coba bersepakat dengan diri sendiri, yang penting kata-kata yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Jadi tak soal.

Sesampai di rumah, yang awalnya tak jadi soal, malah jadi persoalan tersendiri buat saya. Apakah kata-kata tersebut baku atau tak? Saya kurang tahu pasti. Apakah kata-kata tersebut asli milik Indonesia? Ya, pikir saya yakin. Apakah lazim? Barangkali inilah persoalannya. Kalau begitu ia seperti tengah berpuisi di hadapan saya. Hmm, selanjutnya saya kembali membuka-buka kamus. KBBI, tentunya. Ternyata benar.

Sifat keaslian memang menghendaki kata-kata yang dipergunakan itu kata-kata dalam bahasa Indonesia sendiri. Kalaupun ada kata-kata asing dari bahasa daerah yang kita pergunakan, seyogianya kata-kata itu telah menjadi bagian dari perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Dan untuk kelaziman, bergantung pada konteks.

Akhirnya, sepatutnya kita harus mempergunakan kata-kata yang hendaknya lazim dipakai. Sebab, yang tak lazim belum tentu dapat dipahami oleh lawan bicara. Di samping itu, kata-kata yang tak lazim akan terasa aneh kalau dipergunakan dalam situasi resmi. Kata haus lebih lazim daripada dahaga, dan kata rumah lebih lazim daripada teratak, misalnya. Tentu masih banyak lagi padanannya.

Syahdan, juga masalah yang tak pernah minggat, yaitu bagaimana dengan bahasa asing? Kalau kata-kata asing itu sudah ada terjemahannya, terjemahanlah yang dipergunakan. Dan pergunakanlah kata-kata asing yang ucapan dan ejaannya telah di-Indonesia-kan daripada kata-kata asing yang masih dieja dan diucapkan seperti dalam bahasa aslinya.

Kembali pada suatu ketika, kali ini berandai seorang diri tentang masalah kelaziman-kelaziman yang sarat akan konteks dan segala tetek bengek lainnya. Begini, mungkin akan terasa lebih arif dan menjadikannya suatu kelaziman andai mempergunakan bahasa Indonesia dari serapan bahasa-bahasa daerah.

Bukankah justru memperkaya khazanah keseharian dalam percakapan? Bukankah kita juga memang harus melestarikan bahasa daerah selain mempertahankan bahasa Indonesia, tentunya? Sebab kita bangsa Indonesia, bebas memilih kata dari keberagaman bahasa Indonesia. Beragam bahasa menjadi satu bahasa, bahasa Indonesia. Yang secara langsung atau tak itu turut andil memperkaya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) di kemudian hari. Amin.

Sumber: Lampung Post, 21 Oktober 2009